Anak

Bina Anggita, Sekolah Khusus Autis di Jogja yang Berprestasi dan Raih MURI

Saya mendapat kesempatan berkunjung ke Sekolah Khusus Autis Bina Anggita.

Vika Widiastuti | Dwi Citra Permatasari Sunoto

SKA Bina Anggita. (HiMedik/Citra)
SKA Bina Anggita. (HiMedik/Citra)

Himedik.com - Beberapa pekan lalu sempat heboh perihal tulisan di Facebook seorang ibu-ibu yang mengaku dicubit anak autis. Hal itu memicu beberapa orang berkomentar negatif.

Kemudian saya berpikir untuk mengetahui lebih jauh bagaimana dan seperti apa anak autis itu. Di sinilah saya menggali informasi, di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita.

Kamis (17/01/19) pagi, saya meluncur ke lokasi. Saat tiba, di sana melihat para siswa sedang melakukan kegiatan olahraga, sayangnya saya tidak sempat mengabadikan momen tersebut karena langsung mencari keberadaan Bapak Yasin.

Sejarah berdirinya

Beralamat di Jl. Kanoman, Tegalpasar, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, sekolah ini didirikan oleh Bapak M. Yasin pada tahun 1999.

Pria yang saat itu mengenakan baju adat jawa lengkap dengan blangkon bercerita bahwa awal mula mendirikan sekolah ini karena ada tawaran dari seorang teman.

"Sekitar tahun 1993 akhir, saya ditawari teman mengajar anak autis sementara saya sendiri belum tahu apa itu autis bahkan waktu kuliah juga belum pernah mendengar istilah itu," jelasnya.

"Saya tanya teman yang guru SLB juga tidak tahu, lalu sama dia disarankan untuk tanya pada orang yang memberi tawaran mengajar anak autis."

"Setelah saya tanya, penjelasannya tidak bisa saya pahami dengan mudah, dari definisi, cara pembelajarannya sulit sekali. Dulu kan tidak seperti sekarang, cari informasi mudah, jadi dulu saya cari literatur, cari diktat dari buku pelajaran yang ada di perkuliahan, di sana dituliskan autis itu skizofrenia pada anak, yang mana saat itu masih dianggap betul dan ternyata sekarang salah besar."

"Dulu, informasi mengenai autis masih sangat sedikit, teman saya yang guru SLB, bahkan orang tua juga tidak tahu. Maka dari itu saya terpanggil dan tertantang untuk menjalaninya."

"Apalagi saya suka tantangan," imbuh pria berkacamata itu sembari tertawa.

Pada tahun 1994 beliau menyelesaikan pendidikannya D2 dan magang di Jakarta Selatan selama 3 bulan. Lalu mengajar di Yogyakarta selama 5 tahun.

Keputusan besar diambilnya. Pada tahun 1999, pria yang akrab disapa Bapak Yasin ini memutuskan untuk mengundurkan diri dan mendirikan Sekolah Khusus Autis Bina Anggita.

M. Yasin, S.Pd., pendiri SKA Bina Anggita. (HiMedik/Citra)
M. Yasin, S.Pd., pendiri SKA Bina Anggita. (HiMedik/Citra)

"Ide dan gagasan untuk mendirikan dari saya sendiri, kan waktu tahun 1999 keluar saya tidak punya teman, lalu saya cari orang yang mau bekerjasama, mengajak teman yang sudah lama mengenal saya, eh malah tidak mau bilangnya 'di sini (tempat kerjanya) sudah enak, nanti ikut kamu malah susah'. Sekarang orangnya masih ada, bilang 'maaf ya dulu'," kenangnya.

Dalam mendirikan sebuah sekolah tentu saja tidak bisa main-main. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit yang mana saat itu sang pendiri justru memilih untuk berusaha sendiri.

"Tidak ada bantuan mbak, tidak ada donatur. Kami mengumpulkan dari donasi orang tua seperti uang masuk sekolah, uang gedung operasional, dan lainnya, dan itu masih berjalan sampai sekarang."

"Kalau saat ini bantuan dari pemerintah sudah ada dalam bentuk beasiswa dan BOS. Sedangkan untuk donatur juga sudah ada tapi tidak tetap," imbuhnya.

Tahun 2005, beliau melanjutkan pendidikan S1, tapi musibah datang. Gempa mengguncang Yogyakarta dan membuat semuanya agak terbengkalai. Meski demikian, pria paruh baya ini menegaskan tidak putus asa dengan keadaan saat itu.

Pandangan terhadap anak autis

Di waktu yang sama, saya berkesampatan mewawancarai Plt. Kepala Sekolah, Ibu Ambarsih. Saya langsung menanyakan pandangan beliau tentang anak autis dan tanggapan tentang unggahan Facebook ibu-ibu yang mengaku dicubit anak autis.

"Anak berkebutuhan khusus pada prinsipnya sama seperti anak pada umumnya. Jadi, kita sebagai masyarakat jangan memandang sebelah mata anak berkebutuhan khusus ini karena hak mereka sama, berhak mendapat akses apapun, dan punya hak untuk diakui keberadaannya," tuturnya lembut.

"Masyarakat perlu tahu kalau mereka punya kekhususan, kekurangan. Jadi, masyarakat harus maklum. Kita tidak boleh men-judge sebelum tahu, kalau anak normal mungkin tidak apa jika dimarahi, tapi kalau anak berkebutuhan khusus masyarakat harus memahami karena mereka tidak tahu kalau perbuatan itu (mencubit) salah. Banyak orang tidak tahu karakter anak autis, sehingga mereka menyamakan dengan anak-anak bukan autis."

Jumlah siswa

Sekolah Khusus Autis Bina Anggita menerima semua jenjang sekolah. Mulai dari usia TK, SD, SMP, dan SMA dengan jumlah siswa total sebanyak 61 anak.

Jumlah tersebut sebenarnya bisa bertambah banyak. Pasalnya banyak orang tua yang ingin memasukkan anaknya, tapi pihak sekolah tidak mampu menerima lebih banyak lagi. Ini karena terbatasnya pendidik dan tempat.

Sebenarnya bukan pendidiknya sedikit, tapi satu guru harus meng-handle satu siswa. Jadi, agak kesulitan jika harus menerima banyak siswa. Alhasil pihak sekolah menyarankan orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah lain.

Metode pembelajaran dan kurikulum

Mengenai metode pembelajaran dan kurikulum sekolah, Ibu Ambarsih yang saat itu mengenakan baju berwarna pink berkata bahwa metode pembelajaran bermacam-macam, ada terapi perilaku, kepatuhan, ketegasan, dan sebagainya.

"Metode pembelajaran dan kurikulum beragam mbak, mungkin untuk lebih jelasnya bisa langsung tanya pada salah satu guru."

"Kurikulum nasional bisa diadopsi untuk anak-anak yang tidak punya hambatan intelejensi. Namun, juga harus dikombinasi dengan kurikulum khusus anak autis," imbuhnya.

Klasifikasi pendidik, bisa dari lulusan psikologi, PLB, BK, tapi tidak menutup kemungkinan dari jurusan lain yang penting bisa memahami anak-anak autis.

Guru SKA Bina Anggita. (Doc. SKA BIna Anggita)
Guru SKA Bina Anggita. (Doc. SKA BIna Anggita)

"Kami juga butuh guru profesional yang mempunyai spesifikasi seperti olahraga, musik, lukis, bukan guru kelas karena guru kelas belum tentu memiliki kemampuan khusus tersebut," jelas Ibu Ambar.

Tidak lama, Ibu Ambar memanggil salah satu guru yang sekaligus menjabat sebagai Waka Kesiswaan, Kus Tri Haryati. Saya langsung bertanya tentang metode pembelajaran.

"Sistem pembelajaran berbeda, kita melakukan pendekatan individual yaitu satu guru satu siswa. Untuk anak yang perkembangannya lebih baik mungkin kita bisa satu guru tiga anak," jelasnya.

"Karena karakter anak-anak autis yang beragam kami menggunakan kombinasi metode, ada yang tanya jawab, intinya kami gunakan semua metode dan untuk kurikulum secara umum K13 itu yang regular," imbuh guru yang akrab disapa Bu Kus.

Di SKA Bina Anggita terdapat tiga pembagian kelas yaitu kelas regular, sesi, dan full day. Untuk regular dari pukul 7 pagi hingga 1 siang. Kelas sesi ada empat sesi yaitu 7-9; 9-11; 11-1; dan 1-3. Sedangkan full day dari jam 7 pagi sampai 3 sore.

Kegiatan pembelajaran klasikal. (HiMedik/Citra)
Kegiatan pembelajaran klasikal. (HiMedik/Citra)

Di sana guru menjadi satu-satunya fasilitator, guru harus membuat sedemikian rupa pembelajaran yang menarik supaya konsep tersebut masuk ke anak.

"Contoh seperti anak yang hiperaktif kami harus pilih metode bagaimana caranya anak itu tertarik. Jadi, kami harus menerapkan banyak ide dan kreativitas, begitu pula denga kurikulum," jelas Ibu Kus.

Menurut penuturannya, anak autis harus mengerti perintah satu tahap dulu, dari meniru, merespons, ekspresif, dan membantu dirinya sendiri.

"Satu tahap saja anak-anak tertentu membutuhkan waktu yang lama, dan itu belum bisa dimodifikasi dengan K13," imbuhnya.

Jika dilihat dari metode dan cara pembelajaran, hal itu secara tidak langsung juga memberikan terapi bagi anak. Pendapat saya ini, sedikit diterima oleh Ibu Kus, tapi menurutnya setiap profesi ahli di bidangnya masing-masing sehingga tidak bisa disamakan.

Kegiatan Pembelajaran One by One. (HiMedik/Citra)
Kegiatan Pembelajaran One by One. (HiMedik/Citra)

"Mungkin bisa dibilang menerapi, tapi kami tidak bisa bilang begitu karena kami pendidik dan terapi dilakukan oleh orang yang ahli di bidangnya yaitu terapis."

"Kami menerapkan semua aspek dan di situ memang ada unsur-unsur terapi. Apalagi kami hanya membimbing satu anak, pembelajaran berjalan intensif, jadi kan seperti terapi."

Namun, Ibu Kus tetap menegaskan bahwa tetap saja hal itu tidak bisa dibilang terapi karena semua profesi punya kode etik masing-masing.

Bagaimana siswa dengan kebutuhan khusus (autis) belajar?

Dalam penanganan awal dilakukan asesmen sehingga pihak sekolah akan mengetahui perilaku dan kemampuannya seperti apa. Dari situ secara otomatis guru bisa membuat program yang disesuaikan dengan kemampuan dan di kegiatan pembelajaran.

Nah, kemampuan anak ini dikategorikan atau diklasifikasikan bukan dari perilaku tapi kemampuan rendah dan tinggi (IQ).

Anak-anak autis yang memiliki gangguan sosial, wajib diberikan pelatihan sosial, melakukan kebiasaan bersama-sama, pembiasaan diri di sekolah, seperti saat datang apel dulu, sholat bersama, literasi, baru ke individual.

"Semester ini anak-anak sudah mulai hafal dengan pembiasaan tersebut, tapi masih ada yang lari-lari karena karakter mereka beragam," jelas Ibu Kus.

"Rak sepatu juga salah satu pembiasaan untuk menata sepatu, memakai sendal, dan mengembalikan di tempatnya, tapi masih kocar kacir menumpuk di suatu tempat. Nah, ada anak-anak yang suka sekali menata sepatu ini kami manfaatkan untuk melakukan itu," tambahnya sembari tertawa.

Setiap anak dan guru harus melepas alas kaki saat masuk kelas dan ditata di rak. (HiMedik/Citra)
Setiap anak dan guru harus melepas alas kaki saat masuk kelas dan ditata di rak. (HiMedik/Citra)

Anak-anak binaan SKA Bina Anggita, tidak hanya mengampu pendidikan di sana. Menurut penuturan waka kesiswaaan, ada anak yang sambil belajar di sekolah regular.

"Ada anak yang disambi, pagi di sekolah regular, lalu siang ke sini, mungkin untuk pendalaman materi, karena beberapa anak tidak bisa menerima pembelajaran secara klasikal, harus secara individual, seperti les privat, tapi itu pilihan ya, jadi mungkin memilih ke sini."

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan dinas, tapi kalau anak-anak belum bisa, guru menerapkan gabungan aspek RPI dan IEP (program khusus anak autis) yang tetap berbasis kemampuan anak.

"Administrasi tetap menggunakan RPP, silabus, dan lainnya, banyak mbak, yang distandarkan oleh dinas, tapi menyesuaikan dari kemampuan anak dan dituangkan di IEP (program kusus)."

Ekstrakurikuler

Pelajaran SBK lebih dikembangkan ke ekstrakurikuler. Seperti kesenian yaitu menari, menyanyi, karawatian, dan melukis, serta keterampilan yaitu batik dan telor asin.

"Tapi, kadang beda-beda setiap tahunnya, disesuaikan dengan potensi anak. Seperti sebelumnya ada yang membuat sandal jepit, tapi untuk kesenian tetap," tutur Ibu Kus.

Prestasi

Sebenarnya banyak sekali prestasi anak-anak autis binaan SKA Bina Anggita, tapi satu yang menarik perhatian saya adalah mereka berhasil memecahkan rekor MURI karawitan pada tahun 2013.

Meraih rekor MURI. (HiMedik/Citra)
Meraih rekor MURI. (HiMedik/Citra)

Suka duka

Banyak sekali suka duka yang dialami para pendidik. Ibu Kus dan Ibu Ambar bercerita sambil tertawa. Tak terlihat raut wajah lelah atau kesal dengan hal-hal itu.

"Suka dukanya banyak sekali mbak, kan anak karakternya macam-macam, ada yang ekstrem sampai melukai diri sendiri, tantrum, apalagi kalau postur tubuhnya besar sementara kita di sini kebanyakan wanita dan tubuhnya kecil-kecil dan harus bisa menenangkan. Belum lagi kalau ada orang tua yang tidak terima anaknya terluka saat di sekolah karena karakternya tadi yang ekstrem, tapi kami sekuat tenaga memberikan pelayanan yang terbaik," cerita Ibu Kus.

"Bahkan kami kadang harus memaksa supaya anak bisa mengatakan apa yang dia inginkan, dipegangin semua tangan kaki, kepala. Ada anak yang tidak mau makan nasi, kami juga harus paksa, sampai dia mau."

"Pada dasarnya mereka memang semaunya sendiri, jadi harus ada ketegasan di situ. Nah, di sinilah masyarakat harus memahami. Mungkin orang yang tidak tahu kelihatan seperti pemaksaan, tapi memang begitulah cara pengajarannya, bahkan untuk melatih duduk saja ada yang sampai satu bulan lamanya. Sembilan kali instruksi berhasil berarti dia bisa mandiri."

Ibu Ambar menambahkan bahwa ada anak bernama Asa. Pada 10 menit pertama dia tenang, tapi kemudian marah mencakar-cakar meja karena tidak bisa mengungkapkan apa yang diinginkan apalagi tenaga anak-anak sangat kuat.

"Kalau di sekolah lain ada kasus guru nyubit anak, kalau di sini beda malah sebaliknya dan hal-hal seperti itu sering terjadi, bahkan jadi makanan sehari-hari, karena memang seperti itu karakternya," ucap Ibu Ambir sambil tertawa.

Harapan

Sebagai penutup saya menanyakan harapan ke depan pada ketiga nara sumber.

"Saya tidak selamanya sehat dan hidup, harapan saya, layanan untuk anak-anak autis di binaan kami ini masih berjalan lancar dan semakin berkembang dan kami tidak boleh berpuas diri dengan capaian yang diperoleh." (M. Yasin, pendiri SKA Bina Anggita)

"Diharapkan masyarakat bisa mengerti dan memahami karakter anak autis sehingga bisa mengurangi reaksi negatif yang terjadi. Serta harapannya kami bisa memberikan pelayanan dalam hal pendidikan, keterampilan anak-anak, memberikan jalan keluar bagi orang tua, serta memberikan manfaat untuk masyarakat." (Ambarsih, Plt. Kepala Sekolah SKA Bina Anggita)

"Saya sadar anak didik saya itu anak-anak luar biasa, semuanya luar biasa, sudah diniati dari awal pekerjaan saya ini untuk ibadah. Harapannya kemampuan yang saya miliki ini mampu membantu anak-anak untuk bisa mandiri, paling tidak mereka bisa tahu cara mengekspresikan diri dengan orang lain. Inilah kenapa mereka banyak yang tantrum, stres, karena mereka tidak bisa mengungkapkan apa yang diinginkan. Kalaupun tidak bisa lisan, bisa menggunakan gambar yaitu PECS (Picture Exchange Communication System)." (Kus Tri Haryati, Waka Kesiswaan SKA Bina Anggita)

Liputan khusus Reporter HiMedik, Dwi Citra Permatasari Sunoto

Berita Terkait

Berita Terkini