Anak

Masih Tinggi, 340 Ribu Anak Perempuan Menikah di Bawah Usia 18 Tahun

Setiap tahun sekitar 340 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun.

Vika Widiastuti

Ilustrasi anak pakai gaun pengantin (PIxabay/amyannbrockmeyer)
Ilustrasi anak pakai gaun pengantin (PIxabay/amyannbrockmeyer)

Himedik.com - Prevelensi perkawinan anak menunjukkan angka memprihatikan, yaitu 1 dari 4 atau 23 persen anak perempuan menikah di usia dini. Hal tersebut didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS). 

Setiap tahun sekitar 340 ribu anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17%. Jika dilihat dari sebaran wilayah, maka terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional.

Dari catatan di atas mengingatkan bahwa negara harus hadir dengan upaya strategis dan lebih masif dalam merespon hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batas usia anak dan memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun. 

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu menyatakan, tingginya angka perkawinan anak mengancam Ketahanan Nasional dan tidak sejalan dengan jaminan Negara dalam pemenuhan hak anak untuk tumbuh kembang yang optimal.

ilustrasi pernikahan - (Pixabay/NGDPhotoworks)
ilustrasi pernikahan - (Pixabay/NGDPhotoworks)

"Jika angka perkawinan anak terus meningkat dan terus dibiarkan, maka Indonesia akan mengalami ancaman Ketahanan Nasional,” kata Pribudiarta melalui siaran pers yang diterima Suara.com.

Lebih lanjut, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin mengatakan, perkawinan anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghambat pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 

Ilustrasi hamil (Unplash/freestocks.org)
Ilustrasi hamil (Unplash/freestocks.org)

“Perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun (pemenuhan hak anak atas pendidikan), gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan (kesehatan dan angka kematian ibu melahirkan), serta munculnya pekerja anak dan upah rendah (menurunnya ekonomi)," ujar Lenny di acara Seminar Nasional dalam rangkaian peringatan Hari Intermasional Perempuan.

Penghapusan perkawinan anak, sambungnya, tidak hanya berpengaruh pada pencapaian SDG’s namun juga berpengaruh untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA),” (Suara.com/Vessy Dwirika Frizona)

Berita Terkait

Berita Terkini