Anak

Pengeroyokan Siswi SMP di Pontianak, Psikolog Ungkap Ada 2 Pemicu Kekerasan

Psikolog ungkap 2 faktor psikologis yang memicu anak melakukan kekerasan, seperti pelaku yang mengeroyok AU di Pontianak.

Dinar Surya Oktarini | Shevinna Putti Anggraeni

Justice for Audrey [Suara.com/Ema Rohimah]
Justice for Audrey [Suara.com/Ema Rohimah]

Himedik.com - Kasus pengeroyokan siswi SMP di Pontianak oleh 12 siswi SMA yang mengorbankan AU begitu menyita perhatian publik. Sejumlah psikolog juga turut buka suara terkait pemicu seorang anak melakukan kekerasan pada temannya.

Dr. Dedy Susanto, seorang psikolog beberapa kali membahas kasus Audrey dari sisi psikologis melalui instagram pribadinya. Ia sempat mengatakan traumatik yang dialami AU termasuk jenis yang sulit disembuhkan dalam waktu singkat.

Selain itu, Dr. Dedy Susanto juga membeberkan dua hal yang memicu seorang anak berani melakukan tindak kekerasan, seperti yang dilakukan 12 siswi SMA kepada AU beberapa hari lalu.

Ia mengatakan ada dua faktor utama seorang anak berani melakukan tindak kekerasan, salah satunya tayangan televisi yang banyak mempengaruhi pola pikir anak.

"Ada 2 kemungkinan kenapa bullying dan kekerasan bisa terjadi. Pertama, dampak tayangan TV. Tayangan TV itu 60-70% itu mempengaruhi psikologis, kejiwaan, perilaku, cara berpikir dan emosi seseorang. Nah, di Indonesia ini banyak banget sinetron tidak bermanfaat yang menayangkan perkelahian, tawuran, pertengkaran.

Bahkan ada yang spesifik banget dan relevan dengan kejadian Audrey yaitu ada cewek-cewek SMP atau SMA bersama-sama menjatuhkan, menyakiti, menyingkirkan seorang cewek yang mengambil pacar temannya. Nah, ini bahaya tayangan seperti ini," jelas Deddy Susanto melalui channel YouTube Kuliah Psikologi.

Justice for Audrey [Suara.com/Ema Rohimah]
Justice for Audrey [Suara.com/Ema Rohimah]

Dedy Susanto menjelaskan kekerasan yang dilakukan seorang anak itu dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang sering melihat tayangan menyimpang di televisi atau media lainnya.

"Menurut teori alam bawah sadar, apapun yang kita tonton itu akan masuk ke alam bawah sadar dan jadi perbendaharaan. Lalu tanpa disadari perbendaharaan itu akan benar-benar dilakukan ketika gelap hati karena tayangan itu mempengaruhi kejiwaan. Meskipun akhir tayangan itu memberikan pesan moralnya," katanya.

Faktor lainnya, pola asuh dan cara didik orangtua juga mempengaruhi seorang anak melakukan kekerasan. Terutama jika orangtuanya sering memberi hukuman keras sampai melukai hati anaknya semasa kecil.

Momen tersebut akan selalu terekam di ingatan anak yang membawanya melakukan tindak kekerasan pada orang lain sebagai bentuk pelampiasan emosionalnya di masa lalu.

"Kedua, dipengaruhi parenting atau pola asuh orangtua. Pada masa kecil si anak, orangtua menyakiti anaknya, menyisakan kepahitan mendalam, melukai hati anaknya. Sehingga di alam bawah sadar anak itu tersimpan kemarahan dan kekecewaan yang terpendam tapi tidak keluar.

Nah, suatu saat di kehidupan pribadinya, di sekolah maupun di mana pun, emosi itu akan keluar. Jadi memang bisa saja ada pengaruh dari pola asuh atau kenangan di masa lalu," paparnya.

Selain itu, tidak adanya pengawasan dan kedisiplinan orangtua karena kurangnya keterampilan mengasuh anak juga berkaitan dengan tingkat kejahatan remaja. Berdasarkan hasil riset tim peneliti ilmu sosial oleh Grald R. Patterson di Oregon Learning Center dilansir dari Marri Pedia menyatakan orangtua perlu dan harus mengawasi setiap perbuatan anaknya baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

Orangtua harus bisa menanamkan peraturan di rumah, pelanggaran sosial beserta hukumannya dan selalu terbuka untuk diskusi agar konflik tidak berkepanjangan lalu menjadikan orang lain sebagai imbas emosional anak.

Peran orangtua memberi pemahaman yang tepat mengenai peraturan, perilaku menyimpang dan hukuman yang berlaku jika anak melakukan kesalahan.

Didikan orangtua untuk mendisiplinkan anak sangat berpengaruh pada kehidupannya di masa mendatang. Tetapi, orangtua juga harus membangun kedekatan dengan anak agar membuatnya mau terbuka mengenai apapun persoalannya.

Sebab, peraturan dan disiplin ketat yang diterapkan oleh orangtua bisa saja justru meningkatkan peluang anak melakukan tindak kejahatan. Terutama jika anak tersebut tumbuh dalam keluarga broken home atau tidak memiliki salah satu, ayah atau ibu.

Mereka memiliki peluang lebih besar untuk melakukan kejahatan. Begitu pula jika orangtua terlalu memberikan hukuman yang keras pada anaknya ketika melakukan kesalahan.

Hukuman keras dari orangtua hanya akan membentuk anak lebih agresif dan ia bisa saja melakukan tindak kekerasan di kemudian hari sebagai bentuk pelampiasan amarahnya yang terpendam kepada orangtua di masa lalu.

Artinya, orangtua memegang kendali penuh dalam membentuk karakter dan perilaku anak di lingkungan sosial. Karena itu, orangtua harus paham betul dalam membuat peraturan, batasan dan hukuman yang tepat untuk karakter anaknya.

Berita Terkait

Berita Terkini