Info

Awas! Generasi Nunduk Lebih Berisiko Alami Saraf Kejepit di Leher

"Nunduk berjam-jam main gawai menyebabkan generasi sekarang berisiko mengalami masalah di tulang belakang," kata dr. Mahdian

Vika Widiastuti

Ilustrasi kecanduan gadget (Pixabay/rawpixel)
Ilustrasi kecanduan gadget (Pixabay/rawpixel)

Himedik.com - Apakah Anda seorang yang kerap mengoperasikan bahkan ketergantungan terhadap gawai? Jika iya, ada baiknya untuk waspada. Sebab, baru-baru ini disebutkan akibat kebiasaan tersebut, orang berisiko mengalami saraf kejepit

Disampaikan dr. Mahdian Nur Nasution, SpBS dari Lamina Pain and Spine Center, nyeri leher atau leher kaku menjadi penyakit yang sering dialami anak muda zaman now.

Fenomena baru ini terjadi seiring dengan banyaknya orang yang tak bisa lepas dari penggunaan gawai baik untuk sarana hiburan, komunikasi, hingga pekerjaan.

"Nunduk berjam-jam main gawai menyebabkan generasi sekarang berisiko mengalami masalah di tulang belakang, terutama leher. Kita sering sakit kepala, migrain, itu ternyata kalau ditelusuri dari leher juga problemnya. Dan 10 persen nyeri di leher disebabkan oleh saraf kejepit," ujar dr. Mahdian dalam temu media di RS Meilia Cibubur, Selasa (19/2/2019) diberitakan Suara.com.

Ilustrasi bermain HP. (pixabay/FirmBee)
Ilustrasi bermain HP. (pixabay/FirmBee)

Saraf kejepit sendiri, kata dr. Mahdian, merupakan kondisi dimana isi bantalan antar-ruas tulang belakang bocor sehingga menekan saraf.

Bantalan tulang sendiri berperan sebagai penyerap kejutan, bersama dengan dua sendi kecil di belakang leher akan membantu manusia untuk menggerakkan lehernya.

"Kalau saraf kejepit di leher bisa memicu nyeri menjalar hingga ke lengan. Cirinya ada kesemputan di lengan bawah hingga jari. Otot menjadi lemah," imbuh dia.

Selain rasa nyeri yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, saraf kejepit ini juga bisa membuat seseorang tidak produktif karena otot lengannya menjadi lemah. Pijat terapi atau konsumsi obat, menurut dr. Mahdian, kurang efektif dalam mengatasi saraf kejepit.

Salah satu metode yang efektif dalam membuka bantalan tulang yang terjepit ini adalah operasi. Namun banyak masyarakat yang beranggapan bahwa operasi dapat memicu kelumpuhan dan meninggalkan luka sayatan yang besar.

Ilustrasi kecanduan gadget (Pixabay/rawpixel)
Ilustrasi kecanduan gadget (Pixabay/rawpixel)

Menjawab kekhawatiran ini, kata dr. Mahdian, ada teknologi yang dapat meminimalkan luka sayatan dan risiko pascaoperasi saraf kejepit, yakni Percutaneous Endoscopic Cervical Discectomy (PECD) atau sering disingkat pula menjadi Endoskopi Servical.

Bahkan teknik operasi ini sudah dijalankan dr. Mahdian sejak November 2018 di RS Meilia Cibubur. Menurut dia, tak mudah untuk mewujudkan teknik yang sudah dikenal sejak tahun 1990-an di negara lain, tapi baru bisa diterapkan di Indonesia baru-baru ini.

Migrain. (unsplash)
Migrain. (unsplash)

”Masalah mahalnya alat yang harus dibeli dokter atau rumah sakit, menjadi masalah yang harus menjadi perhatian bersama,” imbuhnya.

Dalam teknik PECD, dr. Mahdian menjelaskan ada dua pendekatan yang dipakai, yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).

Keduanya bertujuan menghilangkan herniasi bantalan sendi tulang belakang yang menyebabkan penekanan pada saraf tulang belakang, dengan bantuan penglihatan langsung melalui kamera endoskopi yang ditampilkan pada layar.

"Selain sayatan yang minimal, hanya 4 mm, operasi ini juga dapat dilakukan melalui anastesi lokal saja. Waktu operasi pasien juga menjadi lebih singkat, pemulihan cepat, kerusakan jaringan lebih minimal," terang dia. (Suara.com/Firsta Nodia)

Berita Terkait

Berita Terkini