Himedik.com - Pasca-pemilu 2019, kabar soal caleg gagal yang mengalami gangguan jiwa telah menarik perhatian banyak pihak, salah satunya dokter jiwa.
dr. Andri, SpKJ, FAPM, dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera mengatakan, di media sosial orang dengan mudahnya menyebut caleg A atau B mengalami gangguan jiwa. Padahal, diagnosis gangguan jiwa hanya bisa dilakukan lewat pemeriksaan dokter.
Baca Juga
Demi Rawat Kekasih yang Alami Luka Bakar, Pria Ini Keluar dari Pekerjaannya
Potret Sitti Ashari, Dokter Gigi yang Pernah Jadi Puteri Muslimah 2016
Gara-gara Tergores Kertas, Nenek Ini Alami Gagal Organ dan Diamputasi
Anne Hathaway Ungkap Alasannya untuk Berhenti Minum Alkohol
Studi Sebut Sumpah Serapah Ternyata Baik untuk Kesehatan, Ini Penjelasannya
"Hal yang ingin saya sampaikan secara jelas adalah bahwa psikiater sebagai dokter yang menangani masalah kejiwaan tidak bisa mendiagnosis pasien hanya dari berita di media atau tampilan video di media sosial," ujar dr Andri dalam keterangannya kepada wartawan.
"Pemeriksaan untuk mendapatkan diagnosis gangguan jiwa harus dilakukan secara langsung, bukan berdasarkan rekaan atau asumsi dari psikiater tersebut," tegasnya lagi.
Perhatian dr. Andri tertuju pada dampak dari diagnosis gangguan jiwa lewat media sosial. Menurutnya, konsekuensi diagnosis gangguan jiwa bukanlah hal mudah.
Para caleg yang gagal tersebut bisa saja mengalami stigma karena disebut mengalami gangguan jiwa. Stigma ini menurut dr. Andri masih mudah ditemukan dalam keseharian masyarakat Indonesia.
"Orang yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia bisa disangka kurang imannya dan kurang bersyukur, padahal gangguan jiwa bisa terjadi pada siapa saja dan hal itu adalah wajar," ujar pemilik akun Twitter @Mbahndi ini.
Untuk itu, ia meminta agar masyarakat, terlebih tenaga kesehatan, untuk tidak menyebut seseorang mengalami gangguan jiwa tanpa pemeriksaan medis oleh dokter, hanya karena melihat perilaku dan perkataannya di televisi ataupun media sosial.
"Ingatlah yang bisa mendiagnosis gangguan jiwa adalah dokter jiwa atau psikolog klinis karena hal ini akan berhubungan langsung dengan terapi itu sendiri," kata dr Andri.
"Jangan menambah stigma gangguan jiwa dengan hal-hal yang sifatnya melecehkan atau merendahkan orang dengan masalah kejiwaan atau dengan gejala gangguan jiwa. Semoga kita bisa memahaminya. Salam Sehat Jiwa," tutupnya. (Suara.com/M. Reza Sulaiman)