Info

Studi Ungkap Manfaat Transplantasi Tinja untuk Atasi Depresi

Para peneliti menemukan bahwa bakteri usus asing mengubah perilaku depresi pada penerima.

Vika Widiastuti

Ilustrasi feses - (Pixabay/Alexas_Fotos)
Ilustrasi feses - (Pixabay/Alexas_Fotos)

Himedik.com - Apa yang terpikirkan di benak Anda saat mendengar tentang transplantasi tinja? Meski tampak menjijikan, tetapi hal ini bisa mengatasi gangguan kejiwaan seperti depresi lho. 

Suara.com mengutip Medical Daily, sebuah studi terkini yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Psychiatry menunjukkan bahwa pada hewan, transplantasi bakteri usus dari subjek yang tidak stres ke mereka yang terpapar stres dapat meningkatkan kondisi kesehatan mentalnya. Para peneliti mengatakan probiotik dalam usus dapat mengatasi gangguan kejiwaan manusia.

"Pada tikus yang mengalami depresi dalam uji laboratorium, kami menemukan bahwa stres dapat mengubah microbioma atau populasi bakteri dalam usus," ujar Seema Bhatnagar, ketua peneliti dan ahli saraf di Children's Hospital Philadelphia (CHOP),

Sebelum penelitian, peneliti memiliki hipotesis bahwa bahwa otak dan usus saling memengaruhi. Pada manusia, pasien dengan gangguan kejiwaan memiliki bakteri usus yang unik dalam tubuh mereka dibandingkan dengan bakteri pada individu yang sehat.

Ilustrasi wanita depresi - (Pixabay/JerzyGorecki)
Ilustrasi wanita depresi - (Pixabay/JerzyGorecki)

Untuk mengarah pada studi ini, peneliti menganalisis bakteri di tinja pada tikus stres dan kelompok kontrol yang tidak stres. Hasil menunjukkan bahwa hewan dengan masalah mental memiliki proporsi bakteri tertentu yang lebih tinggi, seperti Clostridia, daripada kelompok hewan yang tidak stres.

Kelompok hewan yang stres kemudian menerima transplantasi tinja dari tiga kelompok donor sehat yang tidak pernah mengalami stres. Caranya dengan mencangkok (transplantasi) bakteri baik di feses. Para peneliti menemukan bahwa bakteri usus asing mengubah perilaku depresi pada penerima.

Namun, transplantasi tidak menyebabkan perubahan dalam perilaku tikus terhadap kecemasan. Tim mengatakan perilaku depresi lebih diatur oleh bakteri usus, sementara perilaku kecemasan mungkin dipengaruhi oleh perubahan aktivitas saraf yang dihasilkan oleh pengalaman stres.

"Meskipun masih banyak penelitian yang masih harus dilakukan, kami dapat membayangkan di masa depan di mana kami dapat meningkatkan pengetahuan tentang interaksi bakteri usus dan otak untuk mengobati gangguan kejiwaan manusia," kata Bhatnagar.

(Suara.com/Firsta Nodia)

Berita Terkait

Berita Terkini