Info

Heboh Kasus Teror Sperma di Tasikmalaya, Kenali Gangguan Eksibisionisme!

Pakar seksolog tanggapi kasus teror sperma di Tasikmalaya sebagai bentuk kelainan seksual.

Yasinta Rahmawati | Shevinna Putti Anggraeni

Ilustrasi pelecehan seksual. (Unsplash/@Victoriano Izquierdo)
Ilustrasi pelecehan seksual. (Unsplash/@Victoriano Izquierdo)

Himedik.com - Media sosial kembali dihebohkan dengan kasus teror sperma di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kasus pelecehan seksual dengan melemparkan sperma ini pun dikategorikan sebagai kelainan seksual yang disebut eksibisionisme.

Mulainya, kasus ini mencuat setelah seorang warganet, RF mengunggahnya di media sosial pada pada Kamis (13/11/2019) Berdasarkan keterangannya, aksi pelecehan seksual dilakukan seorang pria misterius dengan cara melemparkan sperma ke wanita yang menjadi target.

RF lantas menceritakan bahwa istrinya berinisial LR telah menjadi korban teror pelemparan sperma tersebut. Saat itu LR sedang menunggu orderan pengojek daring di Jalan Letjen Mashudi, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kronologinya, korban tiba-tiba dihampir oleh pria misterius yang berhenti mendadak lalu menunjukkan alat kelamin. Setelah itu, pelaku langsung melemparkan cairan yang diduga sperma ke tubuh korban.

"Sudah ada laporan, baru satu. Sekarang kita sidik," kata Kasat Reskrim Polres Tasikmalaya, AKP Dadan Sudiantoro dikutip dari Solopos.com--jaringan Suara.com.

Sperma laki-laki. [Pixabay]
Sperma laki-laki. [Pixabay]

Menurut seksolog, dr. Oka Negara, perilaku menunjukkan alat kelamin di tempat umum bisa ada 2 penyebabnya, yakni keisengan atau gangguan mental. 

"Jika terjadi berulang dan tanpa kendali, ini kemungkinan masuk ke dalam salah satu jenis parafilia atau kelainan seksual yang disebut eksibisionisme," kata dr Oka Negara kepada Suara.com pada Senin (18/11/2019).

Gangguan eksibisionisme merupakan gangguan mental dengan fokus mengekspos alat kelamin seseorang untuk mendapat kepuasan seksual. Biasanya orang dengan gangguan eksibisionisme senang menunjukkan alat kelaminnya kepada orang asing tak dikenal. Tindakan ini dilakukan dengan cara merangsang diri sendiri untuk mencari kepuasan.

"Yang paling sering melakukannya adalah laki-laki dengan menunjukkan alat kelaminnya kepada perempuan dan anak-anak dan sebagian besar kepada perempuan muda," tuturnya.

Ilustrasi pelecehan seksual (shutterstock)
Ilustrasi pelecehan seksual (shutterstock)

Dokter Oka menjelaskan penderita eksibisionis merasa mendapatkan kenikmatan seksual ketika ia menunjukkan alat kelaminnya di depan orang lain. Lalu orang lain akan terkejut dan ketakutan ketika mengalami kejadian tersebut.

Gangguan eksibionisme ini biasanya terjadi sejak awal pubertas, yakni saat remaja sejak mereka sudah memiliki dorongan seksual, termasuk memamerkan alat kelamin di tempat umum.

"Dorongan untuk memamerkan alat kelaminnya sangat kuat dan hampir tidak dapat dikendalikan oleh penderitanya, terutama ketika mereka mengalami kecemasan dan saat muncul gairah seksual," jelasnya.

Pada saat memamerkan alat kelaminnya, penderita eksibisonis biasanya tidak peduli dengan konsekuensi sosial dan hukum mengenai tindakannya. Dalam beberapa kasus, tindakan ini memang dilakukan sambil masturbasi dengan melihat ekspresi korban.

"Pada kasus yang ini malah diduga sampai melemparkan cairan sperma, yang berarti jika itu benar, si eksebisionis mengalami ejakulasi dari aksinya," tandasnya.

Eksibisionis, salah satu jenis kelainan seksual. (Shutterstock)
Eksibisionis, salah satu jenis kelainan seksual. (Shutterstock)

Tindakan seperti ini tentu membuat korban merasa trauma hingga dirugikan. Bahkan korban bisa membawanya ke ranah huku sebagai bentuk pelecehan seksual. Meski begitu, bukan berati orang dengan gangguan eksibisionisme ini tidak mengalami kesulitan.

"Sebenarnya orang dengan gangguan eksibisionisme justru mengalami perasaan tertekan atau distress atas gangguannya tersebut, dan hal ini bukan sekedar berasal dari perasaan tertekan karena melakukan pelanggaran norma sosial-budaya," paparnya.

Adapun kriteria seseorang mengalami gangguan eksibionisme, yakni perilaku terjadi berulang atau intens selama 6 bulan, adanya fantasi, dorongan dan perilaku yang menimbulkan gairah seksual dengan cara memamerkan alat kelamin.

"Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah interpersonal," jelasnya.

Berita Terkait

Berita Terkini