Info

Kelelahan Meski Tidak Banyak Gerak saat Pandemi? Bisa Terkait Mental

Saat pandemi virus corona, banyak orang mengalami rasa lelah meskipun bergerak lebih sedikit daripada waktu sebelumnya.

Yasinta Rahmawati | Fita Nofiana

Rasa lelah. (unsplash)
Rasa lelah. (unsplash)

Himedik.com - Meskipun energi Anda tidak digunakan untuk pergi ke kantor, sekolah, maupun hal lain, tetapi pandemi telah mengubah drastis gaya hidup Anda. Ini memiliki dampak lebih besar pada kesehatan mental dan tingkat energi sehingga membuat Anda mudah lelah.

Dilansir dari Huffpost, stres jangka panjang yang mungkin dirasakan sebagai akibat Covid-19 dan aliran berita yang terus-menerus tentang hal itu tidak bisa diremehkan dan bisa menyebabkan keausan pada tubuh.

"Orang-orang menghadapi tantangan yang benar-benar mengaktifkan sistem saraf simpatik, jadi ini semacam respons klasik," kata Craig N. Sawchuk, seorang psikolog di Mayo Clinic.

“Anda mendapatkan pelepasan hormon seperti adrenalin dan kortisol berlebihan dan konstan, di situlah kita mengalami masalah fisik ini," tambahnya.

Ilustrasi lelah, malas. (Unsplash)
Ilustrasi lelah, malas. (Unsplash)

Menurut Sawchuk, ketika otak Anda terus-menerus berusaha beradaptasi dengan ketidakpastian, ketakutan, dan tantangan, tubuh secara fisik menjadi lelah karena mengelola stres emosional.

"Dan di situlah Anda mulai melihat beberapa masalah energi mulai terjadi di mana Anda merasa lelah," kata Sawchuk.

"Kita mungkin benar-benar beristirahat lebih banyak, kadang-kadang tanpa sengaja tapi itu bukan jenis istirahat yang restoratif," tambahnya.

Sawchuk menyatakan, bahwa energi fisik, emosional, dan mental yang semuanya berasal dari wadah yang sama. Sehingga menguras berbagai sistem dalam kehidupan secara terus-menerus malah bisa melemahkan tubuh.

Ilustrasi kelelahan. [Shutterstock]
Ilustrasi kelelahan. [Shutterstock]

Bagi Sawchuk, bagian dari membangun ketahanan adalah belajar untuk menerima dan beradaptasi dengan keadaan. Dengan kata lain, tidak ada yang harus disesalkan dengan segala sesuatu yang tertunda.

"Kita harus waspada ketika kita membuat perbandingan yang tidak adil antara diri kita dengan orang-orang yang kita pikir melakukan yang terbaik," kata Sawchuk.

“Tujuan Anda bukan untuk menjadi sempurna. Tujuan Anda adalah menjadi cukup baik. Menjadi cukup baik adalah bersikap baik kepada diri kita sendiri," tambahnya.

Berita Terkait

Berita Terkini