Info

Perceraian Orangtua Berpengaruh pada Hormon Oksitosin Anak, Apa Dampaknya?

Orang yang mengalami perceraian orangtua di usia kanak-kanak disebut memiliki hormon oksitosin atau hormon cinta yang lebih rendah saat dewasa.

Yasinta Rahmawati | Fita Nofiana

Ilustrasi anak (Pixabay/Free-Photos)
Ilustrasi anak (Pixabay/Free-Photos)

Himedik.com - Perceraian orangtua yang dialami anak saat masih kecil menimbulkan risiko rendahnya hormon oksitosin saat dewasa. Hal ini dinyatakan pada sebuah penelitian yang disusun oleh para peneliti dari Baylor University. 

Melansir dari Medical Xpress, oksitosin disekresikan di otak dan dilepaskan ketika seseorang mengalami pengalaman ikatan yang berhubungan dengan kasih sayang. Homon oksitosin juga terkait dengan rasa keterkaitan, kecemasan, dan kasih sayang. 

"Sejak tingkat perceraian di masyarakat kita mulai meningkat, ada kekhawatiran tentang efek perceraian pada anak-anak," kata penulis utama Maria Boccia, Ph.D., profesor studi anak dan keluarga dari Baylor University.

"Oksitosin adalah hormon saraf yang penting dalam mengatur perilaku," imbuhnya. 

Ilustrasi oksitosin alias hormon cinta. (Shutterstock)
Ilustrasi oksitosin alias hormon cinta. (Shutterstock)

Para peneliti dalam studi ini meneliti pengaruh pengalaman perceraian orangtua pada anak-anak. "Apa yang kami temukan adalah bahwa oksitosin secara substansial lebih rendah pada orang yang mengalami perceraian orangtua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan mereka yang tidak, ini berkorelasi dengan risiko dampak keterikatan," kata Boccia. 

"Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat oksitosin dipengaruhi secara merugikan oleh perceraian orangtua," imbuhnya.

Pada penelitian ini, orang yang pernah mengalami perceraian orangtua saat di usia anak-anak menunjukkan bahwa mereka menilai orangtua kurang perhatian dan lebih cuek. Mereka juga menilai ayah mereka lebih kasar. 

Selain itu, peserta penelitian yang mengalami perceraian orangtua di masa anak-anak juga disebut kurang percaya diri, lebih tidak nyaman dengan kedekatan, dan merasa kurang aman dalam hubungan. 

Studi baru ini telah diterbitkan dalam Journal of Comparative Psychology.

Berita Terkait

Berita Terkini