Pria

Terinfeksi HIV, Pria Ini Bersyukur Bisa Berkeluarga Tanpa Tularkan Virus

Ia sempat diberi tahu sisa hidupnya tinggal 3 tahun.

Rima Sekarani Imamun Nissa | Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana

Dokter Carole Gilling-Smith - (Facebook/Carole Gilling-Smith)
Dokter Carole Gilling-Smith - (Facebook/Carole Gilling-Smith)

Himedik.com - Perry Evans bersyukur dirinya bisa membina keluarga meski ia terinfeksi virus HIV. Ia pun teringat betapa terkejutnya saat didiagnosis terjangkit HIV pertama kali.

Kala itu, pada 1985, saat Evans berusia 23 tahun, dia diberi tahu bahwa sisa hidupnya tinggal dua sampai tiga tahun lagi.

''Aku cukup mati rasa saat diberi tahu seperti itu,'' kata Evans, yang menderita hemofilia, kondisi yang membuat darah sulit membeku.

''Saat itu, aku cukup sehat dan aktif. Aku baru menyelesaikan kuliah. Aku masih muda, bebas, dan lajang. Hidupku baru dimulai.''

Dua tahun setelah diagnosis tersebut, Evans bertemu seorang wanita bernama Heather yang dinikahinya setahun kemudian.

''Heather menikah denganku sambil berpikir, aku akan segera mati, dan tahu kami tidak akan bisa punya anak,'' ujar Evans.

''Teman-teman kami mulai membangun keluarga dan aku merasa seakan bagian dari hidupku diambil dariku.''

Namun pada 1999, yakni tiga tahun setelah dikenalkan pada pengobatan HIV, masa depan Evans terlihat berbeda dari sebelumnya, seperti dikutip dari Evening Standard, Kamis (24/1/2019) pekan lalu.

Ahli ginekologi dan spesialis kesuburan Carole Gilling-Smith membuat program 'pencucian sperma' di Chelsea dan Westminster Hospital. Program ini memberi kesempatan pada pria yang positif HIV di Inggris untuk menjadi orang tua tanpa menulari pasangan atau anak mereka.

Pada 2001, putra Evans, Isaac, lahir. ''Ini seperti hadiah dari Tuhan. Pada saat itu aku berpikir seharusnya aku tidak mendapatkan ini, seharusnya aku tidak punya anak,'' ucap Evans, yang merupakan pekerja IT.

Putri mereka, Cerian, kemudian juga lahir melalui program pencucian sperma di klinik pada 2005. ''HIV tidak akan melekat pada sperma dengan sendirinya, itu ditemukan di dalam cairan di sekitar sperma. Dengan memproses sperma, kita bisa memisahkannya dari cairan yang terkontaminasi. Kemudian kita bisa menanamkan sperma itu ke rahim wanita, dan dia tidak akan tertular,'' jelas Gilling-Smith.

''Aku sering menderita flu, infeksi, dan pneumonia. Aku tidak beruntung harus hidup dalam tubuh yang sudah terluka, sudah rusak, dan tak bisa diganti. Namun, aku memilih untuk tidak hidup di masa lalu,'' kata Evans.

''Aku punya dua anak yang hebat, yang sangat aku cintai dan menjadi inspirasiku, jadi aku merasa sangat beruntung.''

Berita Terkait

Berita Terkini