Pria

Sempat Alami Gangguan Jiwa, Pria Ini Buktikan Diri Luncurkan 5 Novel

"Kebanggaan dalam diri bahwa saya bukan orang gila. Karena saya bisa punya karya," katanya.

Vika Widiastuti

Saka Rosanta, eks pasien gangguan jiwa yang menuliskan lima novel. (Suara.com/Firsta Nodia)
Saka Rosanta, eks pasien gangguan jiwa yang menuliskan lima novel. (Suara.com/Firsta Nodia)

Himedik.com - Sempat mengalami gangguan jiwa, seorang pria asal Bali berhasil membuktikan dirinya bisa menghasilkan karya

"Kalau saya distigma orang gila, saya buktikan kalau punya karya," ujar Saka Rosanta (37) ketika ditanyai bagaimana pendapat orang-orang atas kondisinya saat ini.

Ya, Saka merupakan penyintas orang dengan skizofrenia. Kondisinya yang kerap disebut sebagai 'orang gila' oleh masyarakat awam ini membuat Saka harus melawan stigma ini dengan membuktikan bahwa ia juga bisa berkarya bahkan melampaui orang pada umumnya.

"Kebanggaan dalam diri bahwa saya bukan orang gila. Karena saya bisa punya karya. Menurut saya kita butuh ruang ekspresi dan saya memilih lewat menulis buku," imbuhnya.

Saka bercerita bahwa dirinya pernah mengalami episode yang berat dalam hidupnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa mendapat kekerasan dari ibu tirinya. Hal ini membuatnya mengalami gangguan kecemasan berat sehingga insomnia.

Saka Rosanta, eks pasien gangguan jiwa yang menuliskan lima novel. (Suara.com/Firsta Nodia)
Panti Rehabilitasi Sosial Rumah Berdaya Denpasar (Suara.com/Firsta Nodia)

Bahkan pada waktu duduk di bangku SMA, Saka pernah berencana mengakhiri hidup dengan gantung diri hingga menenggak racun. Namun Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Ia pun menikah dan sang istrilah yang menjadi motivasi bagi dirinya untuk melawan gangguan skizofrenia yang diidapnya selama ini.

"Waktu saya ngamuk istri saya bilang mau sama dunia sendiri atau kerja. Lalu saya mikir apa sih yang dimaksud dunia sendiri. Akhirnya saya cari penyembuhan untuk diri sendiri. Dengan menulis akhirnya saya sembuh," ujar Saka.

Saka pun mencari penyembuhan untuk dirinya sendiri. Hingga akhirnya menemukan bahwa menulis merupakan terapi penyembuhan terbaik bagi dirinya. Saka sangat berterima kasih pada sang istri yang selalu mendampingi di kala susah dan senangnya, hingga Ia membuat novel untuk sang istri.

"Istri saya, saya buatin novel, novel saya yang ketiga judulnya Buku Itu di Atas Kertas. Istri saya namanya Dewi. Endingnya Dewi yang seperti Dewi Kwan Im. Seorang ibu yang penuh kasih sayang merawat saya dari saya sakit, sampai sembuh," lanjut Saka.

Selain istri, Saka juga berterima kasih telah bertemu Rumah Berdaya, yakni sebuah rehabilitasi psikosial bagi orang dengan skizofrenia (SDO) atau ODGJ di bawah naungan dinas sosial Denpasar bekerjasama dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI).

Menurut Saka di Rumah Berdaya ia dan teman-teman skizofrenia lainnya dirawat seperti bayi hingga menemukan jati diri sendiri.

"Kita disayang sekali disini kaya bayi hingga tumbuh dan menemukan jati diri. Saya ketemunya di media sosial. Minta dibantu pengobatan. Dulu penasaran karena saya sering ngamuk-ngamuk di rumah sampai hampir lumpuh nggak bisa jalan. Tapi sekarang bisa karena dibantu di sini," tambah dia.

Dalam kunjungan lapangan tematik di Bali, Rabu (24/4/2019), Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pun sempat berinteraksi dengan Saka. Bahkan seluruh novel Saka diborong habis oleh Menkes Nila. Raut kegembiraan pun terpancar dari wajah Saka.

Saka Rosanta, eks pasien gangguan jiwa yang menuliskan lima novel. (Suara.com/Firsta Nodia)
Menkes Nila Moeloek bertemu Saka Rosanta, eks pasien gangguan jiwa yang menuliskan lima novel. (Suara.com/Firsta Nodia)

Saka berharap bahwa nantinya kelima novel yang telah dibuatnya bisa dicetak dalam jumlah banyak. Ia ingin membuktikan bahwa meski pernah menyandang status sebagai orang dengan skizofrenia, ia tetap bisa berkarya.

"Mudah mudahan bisa diterbitkan sehingga ke depan saya bisa bekerja lagi. Tidak hanya jadi file yang tidak berguna," tutup ayah dari dua anak ini.

Dalam kesempatan yang sama, dr I Gusti Rai Wiguna, SpKJ, selaku salah satu pendiri Rumah Berdaya mengatakan pengobatan oral tidak cukup dalam mengatasi penyakit ini. Orang dengan skizofrenia juga membutuhkan rehabilitasi dan interaksi sosial bersama orang lain.

"Kalau tempat lain masing-masing bikin sendiri. Kami disini kerjasama jadi kerja gotong royong. Ini hilir artinya di akhir kami ingin menunjukkan dengan terapi yang baik, kesempatan yang baik, dukungan keluarga yang baik, teman-teman bisa kembali baik," tandasnya. (Suara.com/Firsta Nodia)

Berita Terkait

Berita Terkini