Pria

Kasus Bunuh Diri Sering Terjadi pada Pria daripada Wanita, Mengapa?

Meski wanita lebih rentan terhadap depresi, kasus bunuh diri justru lebih rentan pada pria.

Rima Sekarani Imamun Nissa | Rosiana Chozanah

Ilustrasi ingin bunuh diri. (pixabay/johnhain)
Ilustrasi ingin bunuh diri. (pixabay/johnhain)

Himedik.com - Bunuh diri merupakan masalah yang memiliki banyak penyebab, kompleks dan sensitif. Kita sendiri tidak pernah bisa sepenuhnya mengetahui alasan di baliknya selain orang itu sendiri.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hampir 40% dari beberapa negara punya lebih dari 15 kematian akibat bunuh diri per 100 ribu pria, hanya 1,5% terjadi pada wanita.

Bahkan, di Amerika Serikat sendiri, pria 3,5 kali lebih mungkin melakukan bunuh diri dibanding wanita.

Meski wanita lebih rentan terhadap depresi, dan juga lebih kemungkinan bunuh diri juga, tetapi metode yang digunakan pria seringkali lebih ganas. Itu membuatnya lebih mungkin berhasil sebelum siapa pun dapat mencegahnya.

Sebuah studi terhadap 4.000 lebih pasien rumah sakit yang terlibat dalam tindakan melukai diri sendiri menemukan, pria mempunyai tingkat niat bunuh diri yang lebih tinggi daripada wanita.

Kasus Bunuh Diri Sering Terjadi pada Pria daripada Wanita, Mengapa? - 1
Ilustrasi lelaki depresi (Shutterstock)

Berdasarkan BBC, salah satu faktor risiko kunci dari kasus ini adalah komunikasi. Selama beberapa generasi, banyak masyarakat mempertahankan stigma bahwa "laki-laki harus kuat".

Ia menambahkan, masyarakat juga mengondisikan anak laki-laki sejak usia sangat muda untuk tidak mengekspresikan emosi karena itu berarti mereka lemah.

Selain itu, cara komunikasi antar orangtua dan anak turut memengaruhi. "Para ibu berbicara lebih banyak kepada anak perempuan mereka daripada anak laki-laki," tutur Mara Grunau, direktur eksekutif di Pusat Pencegahan Bunuh Diri di Kanada.

Di sisi lain, pria mungkin kurang mau mengakui saat mereka merasa sedih, baik kepada diri mereka sendiri, teman, atau dokter umum.

Peneliti juga menilai laki-laki lebih jarang mencari bantuan untuk menyembuhkan kesehatan mental mereka. Alih-alih mencari bantuan melalui sarana kesehatan yang sudah ada, beberapa pria mungkin berupaya mengobati diri sendiri dan ini tentu berbahaya.

Ilustrasi depresi (shutterstock)
Ilustrasi depresi (shutterstock)

"Cenderung ada lebih banyak penggunaan narkoba dan alkohol di antara pria, yang mungkin mencerminkan kesulitan yang mereka rasakan. Tapi kita tahu bahwa hal itu menambah masalah bunuh diri," ujar psikolog Jill Harkavy-Friedman, wakil presiden penelitian untuk American Foundation for Suicide Prevention.

Padahal, minum alkohol bisa memperparah depresi dan meningkatkan perilaku impulsif. Perilaku mengonsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko untuk bunuh diri.

Memang tak ada perbaikan langsung untuk masalah kompleks ini. Namun, sejumlah program, kebijakan, dan organisasi nirbala telah membuat terobosan.

Di Australia misalnya, kelompok pencegahan kesehatan mental dan bunuh diri berusaha mengubah paradigma budaya. Caranya antara lain memberlakukan R U OK Day ( hari nasional yang didedikasikan untuk mengingatkan masyarakat agar speak-up pada orang sekitar untuk menjaga kesehatan mental), mendorong pendekatan menggunakan prinsip shoulder-to-shoulder dan Mates in Construction, yakni hotline untuk krisis kejiwaan dan dorongan bunuh diri).

"Secara keseluruhan, ada penekanan pada 'membuatnya tak masalah bagi pria untuk berbicara tentang perasaan mereka', dan itu diakui sebagai tanda kekuatan," kata O'Driscoll.

Berita Terkait

Berita Terkini